Senin, 14 Maret 2011

TRANSPARANSI PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA

TRANSPARANSI PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA Oleh :
AHMAD HIDAYAT
(Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta)



ABSTRAK

Artikel ini menyajikan konsep dasar pelayanan publik dan parameter-parameter transparansi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Trans paransi atau keterbukaan pelayanan publik adalah meru pakan salah satu hal yang harus segera diwujudkan demi untuk meningkatkan keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dan memenangkan persaingan di era globalisasi sekarang ini. Selain itu, transparansi merupakan salah satu prinsip dalam perwujudan pemerintahan yang baik. Penjabaran secara lebih rinci mengenai transparansi pelayanan publik sangat diperlukan, karena pelaksanaan transparansi dalam penyelenggaraan pelayanan publik akan dapat meningkatkan kinerja pelayanan publik. Trans paransi harus dilaksanakan pada seluruh aspek manajemen pelayanan publik, meliputi kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan/pengendalian, dan laporan hasil kinerjanya. Transparansi hendaknya dimulai dari proses perencanaan pengembangan pelayanan publik, karena sangat terkait dengan kepastian berusaha bagi investor baik dalam negeri maupun luar negeri, serta kepastian pelayanan bagi masyarakat umum yang memerlukan dan yang berhak atas pelayanan.
Kata Kunci : Transparansi, pelayanan publik, pemerintahan yang baik.



ABSTRACT

This article presents public service base concept and transparency parameters in the management of public service. Transparency or service openness of public is one thing which must soon is realized for the shake of increase success of execution of area autonomy and wins emulation in present globalization era. Besides, transparency is one of principle in materialization of good governance. Formulation more detailedly about service transparency of public hardly is required, because execution of transparency in the management of service of public will be able to increase public service performance. Transparency must be executed at all management aspect of public service, covers policy, planning, execution, control, and report result of its the performance. Transparency shall be started from service expansion planning process of public, because hardly related to certainty tries for investor either in country and also overseas, and service certainty for public required and which is entitled to service.
Keyword : Transparency, public service, good governance.

PENDAHULUAN

Seiring dengan di berlakukannya otonomi daerah di era perdagangan bebas sakarang yang mengacu pada UU No. 32 Tahun 2004, tuntutan akan kinerja pelayan an publik yang baik menjadi semakin mengemuka. Dapat dikatakan bahwa keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah sangat ditentukan oleh kinerja pelayanan publik, karena masyarakat akan menilai baik buruknya otonomi daerah berdasarkan baik atau buruknya kinerja pelayanan publik. Dalam UU tersebut dinyatakan dengan tegas bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintan menurut asas otonomi dan medebewind (tugas pembantuan), diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan service (pelayanan), empowerment (pemberdayaan), peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan mempertimbangkan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan suatu daerah dalam sistem NKRI.
Namun, beberapa studi menunjukkan bahwa akar perma salahan yang menyebabkan buruknya kinerja pelayanan publik adalah prosedur pelayanan publik yang berbelit-belit dan tidak transparan (tidak terbuka). Oleh karena itu, transparency (trans paransi/keterbukaan) pelayanan publik adalah meru pakan salah satu hal yang harus segera diwujudkan demi untuk meningkatkan keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dan memenangkan persaingan di era globalisasi sekarang ini.
Transparency (transparansi) merupakan salah satu prinsip dalam perwujudan good governance (pemerintahan yang baik). Good governance dan otonomi daerah adalah dua konsep yang saling berkaitan, dan berinteraksi dalam suatu korelasi yang bersifat positif. Keduanya saling menyediakan iklim kondusif yang perkembangan satu sama lain. Akan tetapi, konsep good governance mudah diucapkan, namun sebenarnya agak sulit untuk merumuskan ke dalam satu bahasa yang bisa diterima khalayak karena di dalamnya ada unsur etika atau tata nilai.
Dalam kaitan di atas, maka pemerintah mengeluarkan kebijakan pengembangan transparansi pelayanan publik. Kebijakan pemerintah untuk mengembangkan transparansi pelayanan publik diatur dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor. KEP/
26/M.PAN/2/2004 Tanggal 24 Februari 2004 Tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan Akuntabilitas Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Kebijakan ini berlandaskan pada Undang-Undang Dasar 1945 telah mengamanatkan bahwa negara wajib melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam rangka pelayanan umum dan meningkatkan kesejah teraan masyarakat. Di samping itu, pada kondisi aktual selama ini,

penyelenggaraan public service (pelayanan publik) yang dilaksanakan oleh aparatur pemerintah dalam ber bagai sektor pelayanan, terutama yang menyangkut pemenuhan hak-hak sipil dan kebutuhan dasar masyarakat, kinerjanya masih belum seperti yang diharapkan.
Mengenai hal di atas dapat dilihat antara lain dari banyaknya penga duan atau keluhan dari masyarakat dan dunia usaha, baik melalui surat pembaca maupun media pengaduan lainnya, seperti menyangkut prosedur dan mekanisme kerja pelayanan yang berbelit-belit, tidak transparan, kurang informatif, kurang akomodatif, kurang konsisten, terbatasnya fasilitas, sarana dan prasarana pelayanan, sehingga tidak menjamin kepastian (hukum, waktu dan biaya), serta masih banyak dijumpai praktik pungutan liar serta tindakan-tindakan yang berindikasikan penyim pangan dan KKN.
Buruknya kinerja pelayanan publik selama ini antara lain dikarenakan belum di laksanakannya transparansi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Oleh karena itu, pelayanan publik harus dilaksanakan secara transparan oleh setiap unit pela yanan instansi pemerintah karena kualitas kinerja biro krasi pelayanan publik memiliki implikasi yang luas dalam mencapai kesejahteraan masyarakat.
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2003 Tentang Paket Kebijakan Ekonomi Menjelang dan Sesudah Berakhirnya Program Kerjasama dengan International Monetary Fund (IMF), menginstruksikan antara lain kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara untuk melakukan langkah-langkah dalam rangka meningkatkan transparansi pelayanan masyarakat, terutama yang menyangkut kepastian prosedur, waktu, dan pembiayaan pelayanan publik. Selain itu, disarankan mewujudkan pelayanan yang berkualitas, dan ini telah ditindak lanjuti dengan mengeluarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor. KEP/
26/M.PAN/2/2004 pada tanggal 24 Februari 2004. Namun demikian, dalam faktanya transparansi dan yang merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan secara utuh oleh setiap instansi dan unit pelayanan instansi pemerintah sesuai dengan tugas dan fungsinya, belum juga dapat dilaksanakan secara menyeluruh.
Sehubungan dengan hal tersebut, perlu penjabaran secara lebih rinci mengenai transparansi pelayanan publik, karena pelaksanaan transparansi dalam penyelenggaraan pelayanan publik akan dapat meningkatkan kinerja pelayanan publik. Trans paransi harus dilaksanakan pada seluruh aspek manajemen pelayanan publik, meliputi kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan/pengendalian, dan laporan hasil kinerjanya. Transpa- ransi hendaknya dimulai dari proses perencanaan pengembangan pelayanan publik, karena sangat terkait dengan kepastian

berusaha bagi investor baik dalam negeri maupun luar negeri, serta kepastian pelayanan bagi masyarakat umum yang memerlukan dan yang berhak atas pelayanan.
Dalam konteks di atas, kondisi aktual yang diharapkan terjadi dalam penyelenggaraan pelayanan publik oleh seluruh instansi pemerintahan adalah adanya transparansi/keterbukaan dalam melakukan pelayanan kepada warga masyarakat. Namun, yang menjadi persoalan adalah, apakah semua instansi pemerintah sudah transparan/terbuka dalam menyelenggaran pelayanan publik selama ini ?. Dalam beberapa hal, pelayanan publik yang dilakukan oleh instansi pemerintah selama ini masih kurang atau tidak transparan. Ketidaktrasparansian terutama dalam
hal kepastian prosedur (masih berbelit-belit) dan waktu penyelesaian pelayanan kadang-kadang kurang jelas/tepat. Selain itu, pembiayaan untuk beberapa pelayanan kurang transparan (terutama dalam pengambilan KTP dan pengurusan surat keterangan ijin), serta juga kegiatan manajemen dan pelaksanaan pelayanan tidak semuanya diinformasikan pada warga dan masih sulit diakses oleh warga.
Artikel ini menyajikan konsep dasar pelayanan publik dan parameter-parameter transparansi dalam penyelenggaraan pelayanan publik, yang meru pakan salah satu hal yang harus segera diwujudkan demi untuk meningkatkan keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dan memenangkan persaingan di era globalisasi sekarang ini.


KONSEP DASAR PELAYANAN PUBLIK Pengertian Pelayanan Publik
Taliziduhu (2000 : 59-60) menyatakan bahwa layanan dapat diartikan sebagai produk dan

dapat juga diartikan sebagai cara atau alat yang digunakan oleh provider (penyedia layanan) dalam memasarkan atau mendistribusikan produknya. Jika barang dan jasa dianggap sebagai produk (komoditi), maka perdagangannya dapat disertai dengan layanan sebagai cara atau alat. Yang dimaksud dengan layanan dalam pengertian di atas adalah layanan sebagai produk. Kemudian, bagaimana halnya dengan layanan jasa publik ?
Dari segi konseptual, pengertian pelayanan publik dapat ditelusuri melalui istilah layanan civil. Istilah civil berasal dari kata Latin civil (kata sifat), yaitu segala sesuatu yang menyangkut kehidupan sehari-hari warganegara di luar urusan militer dan ibadah. Pelayanan civil semula diartikan sebagai suatu cabang pelayanan publik, menyangkut semua fungsi pemerintahan di luar pelayanan militer. Seiring dengan perkembangan masyarakat ilmu pengetahuan, setiap disiplin memakai konsep-konsep itu dalam konteks yang berbeda-beda, sehingga setiap pemakaian

mempunyai konteks yang berbeda-beda pula.

Layanan civil dapat dibedakan menjadi layanan civil guna memenuhi hak bawaan (asasi) manusia dan layanan civil guna memenuhi hak derivatif, hak berian, atau hak sebagai akibat hukum yang menyangkut diri seseorang. Misalnya, wajib minta ijin jika seseorang ingin membuka usaha.
Provider (penyedia) layanan civil yang disebut belakang di atas adalah birokrasi. Oleh karena itu, layanan civil jenis itu dapat juga disebut layanan birokrasi atau layanan publik. Jadi, layanan birokrasi atau layanan publik termasuk di dalam layanan civil. Mengingat produk birokrasi itu bersifat jasa, maka birokrasi adalah pabrik jasa pemerintahan. Dalam kaitan ini, Taliziduhu (2000 : 65) menegaskan bahwa di Indonesia, pelayanan birokrasi atau pelayanan publik itu yang paling lemah dan terkesan sebagai sarang KKN, dan lebih dari pada itu berperan sebagai pasar politik. Birokrasi memasang ”jebakan” melalui peraturan, lalu menetapkan ”tarif” yang tinggi, sementara warga masyarakat tidak mempunyai bargaining position (posisi tawar menawar) terhadap birokrasi.
Kemudian, definisi yang sangat simpel tentang pelayanan antara lain diberikan oleh Ivancevich, Lorenzi, Skinner, dan Crosby (2000 : 448), yaitu ”pelayanan adalah produk-produk yang tidak kasat mata (tidak dapat diraba) yang melibatkan uisaha-usaha manusia dan menggunakan peralatan.” Sedangkan menurut Gronroos (2001 : 27), pelayanan adalah suatu aktivitas atau serangkaian aktivitas yang bersifat tidak kasat mata (tidak dapat diraba) yang terjadi sebagai akibat adanya interaksi antara konsumen dan karyawan atau hal-hal yang disediakan oleh organisasi pemberi pelayanan yang dimaksudkan untuk memecahkan permasalahan masyarakat yang dilayani.
Dengan mengacu pada dua definisi di atas, maka dapat diketahui bahwa ciri pokok pelayanan adalah tidak kasat mata (tidak dapat diraba) dan melibatkan upaya manusia (karyawan) atau peralatan lain yang disediakan oleh organisasi penyelenggara pelayanan. Menurut Zemke,
ciri lainnya untuk pelayanan jasa antara lain moral karyawan berperan sangat menentukan, serta tujuan pelaksanaan pelayanan adalah keunikan (setiap orang yang dilayani dan setiap kontak pelayanan adalah ”spesial”) (dalam Collins dan McLaughlin, 2002 : 559).
Dalam hubungannya dengan pelayanan publik, di Indonesia, konsep pelayanan administrasi pemerintahan seringkali dipergunakan secara bersama-sama atau dipakai sebagai sinonim dari konsep pelayanan perijinan, pelayanan umum, serta pelayanan publik. Keempat istilah pelayanan
itu dipakai sebagai terjemahan dari public service. Hal ini dapat dilihat dalam dokumen-dokumen

pemerintah sebagaimana dipakai oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara.

Secara normatif, Keputusan Menpan No. 81 Tahun 1993 tentang Pedoman Tatalaksana

Pelayanan Umum, yang kemudian disempurnakan dengan Keputusan Menpan No. 63 Tahun

2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan mendefinisikan pelayanan umum sebagai berikut : ”Segala bentuk pelayanan yang dilaksanakan instansi pemerintah di Pusat, di Daerah, dan di lingkungan BUMN atau BUMD dalam bentuk barang dan atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Dalam kaitan pengertian ini, indeks kepuasan masyakat yang dilayani adalah tingkat kepuasan masyarakat dalam memperoleh pelayanan yang diperoleh dari penyelenggara atau pemberi pelayanan sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat.
Definisi tersebut di atas menunjukkan bahwa pelayanan publik atau pelayanan umum dapat diartikan sebagai segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh instansi pemerintah
di Pusat, di Daerah, dan di lingkungan BUMN atau BUMD dalam bentuk barang dan atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan (Keputusan Menpan No. 63 Tahun 2003).
Untuk pelayanan administrasi pemerintahan atau pelayanan perijinan, dapat diartikan sebagai segala bentuk jasa pelayanan yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh instansi pemerintah di Pusat, di Daerah, dan di lingkungan BUMN atau BUMD, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan perundang-undangan, yang bentuk produk layanannya adalah ijin atau waskat.
Pelayanan publik atau pelayanan umum dan pelayanan administrasi pemerintahan atau pelayanan perijinan tersebut mungkin dilakukan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat, misalnya upaya Kantor Pertanahan untuk memberikan jaminan kepastian hukum atau kepemilikan tanah dengan menerbitkan akta tanah, pelayanan penyediaan air bersih oleh PAM, pelayanan transportasi oleh Dephub., pelayanan penyediaan listrik oleh PLN, pelayanan pemberian KTP oleh Kantor Kelurahan, dan lain-lain. Pelayanan publik atau pelayanan umum dan pelayanan administrasi pemerintahan atau pelayanan perijinan juga mungkin diselenggarakan sebagai pelaksanaan peraturan perundang-undangan. Misalnya, karena adanya ketentuan perundang-undangan bahwa setiap orang yang melaksanakan pesta perkawinan harus memiliki
ijin pesta keramaian dari Kantor Kelurahan dan Polsek setempat, maka diselenggarakan

pelayanan perinjinan tersebut. Demikian halnya yang berkaitan dengan perlunya ada surat pengantar kelakuan baik, surat laporan kehilangan, surat pengantar UUG, dan lain-lain.
Hakikat, Asas, dan Prinsip Pelayanan Publik

Keputusan Menpan No. 63 Tahun 2003 menyatakan bahwa hakikat pelayanan publik adalah pemberian pelayanan prima kepada masyarakatt yang merupakan perwujudan kewajiban aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat.
Berdasarkan Keputusan Menpan di atas, maka untuk dapat memberikan pelayanan yang memuaskan bagi pengguna jasa, penyelenggaraan pelayanan harus memenuhi asas-asas pelayanan sebagai berikut : (1) Transparan (bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti); (2) Akuntabilitas (dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan kebutuhan perundangan); (3) Kondisional (sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi serta penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efesiensi dan efektivitas); (4) Partisipatif (mendorong peranserta masyarakat dalam pelaksanaan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat); (5) Kesamaan hak (tidak diskriminatif, dalam arti tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender, dan status ekonomi); dan (6) Keseimbangan hak dan kewajiban (pemberi dan penerima pelayanan publik harus memenuhi hak dan kewajiban masing-masing
pihak).

Adapun prinsip pelayanan publik adalah : (1) Kesederhanaan (prosedur pelayanan tidak berbelit-belit, mudah dipahami, dan mudah dilaksanakan); (2) Kejelasan (misalnya kejelasan persyaratan teknis dan administrasi pelayanan publik); (3) Kepastian waktu (dapat dilaksanakan dalam kurun waktu yang telah ditentukan); (4) Akurasi (produk layanan publik diterima dengan benar, tepat, dan sah); (5) Keamanan (proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa aman dan kepastian hukum); (6) Tanggung jawab (pimpinan penyelenggara pelayanan publik bertanggung jawab atas pelaksanaan pelayanan dan penyelesaian keluhan atau persoalan dalam pelaksanaan pelayanan publik; (7) Kelayakan sarana dan prasarana (tersedianya sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja, dan pendukung lainnya yang memadai, termasuk penyediaan sarana teknologi dan informatika atau telematika); (8) Kemudahan akses (termpat dan lokasi serta sarana pelayanan yang memadai, mudah dijangkau oleh masyarakat, dan dapat memanfaatkan telematika); (9) Kedisiplinan, kesopanan, dan keramahan (pemberian pelayanan harus bersikap disiplin, sopan santun, ramah, serta memberikan pelayanan yang ikhlas); dan (10) Kenyamanan (lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang tunggu yang nyaman,

bersih, rapi, dan lingkungan yang indah, sehat, serta dilengkapi dengan fasilitas pendukung pelayanan seperti parkir, toilet, tempat ibadah, dan lain-lain).


TRANSPARANSI DALAM PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK

Transparansi dalam konteks penyelenggaraan pelayanan publik adalah terbuka, mudah, dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan serta disediakan secara memadai dan mudah dimengerti (Ratminto, Winarsih, 2005 : 19). Pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima kebutuhan pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan (Ratminto dan Winarsih, 2005 : 18). Jadi secara konseptual, transparansi dalam penyelenggaraan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan, yang bersifat terbuka, mudah, dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan serta disediakan secara memadai dan mudah dimengerti oleh semua penerima kebutuhan pelayanan.
Desentralisasi merupakan konsekuensi dari demokrasi, dan tujuannya adalah membangun good governance mulai dari akan rumput politik. Desentralisasi inilah yang menghasilkan local government (pemerintahan daerah) (Grosroos, 2001 : 59). Dalam konsep good governance tersebut, ada 3 aktor yang bermain, yaitu pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat (Wibawa dan Yuyun, 2002 : 39). Pemerintah di sini berfungsi untuk memediasi kepentingan-kepentingan yang antara lain berkenaan dengan pelaksanaan pelayanan publik (Pamudji, 2000 : 23), dan menurut Zeithaml dan Berry (2001 : 67) pelayanan publik itu harus dilaksanakan oleh birokrasi pemerintah dengan sebaik-baiknya, transparan, dan akuntabel agar tidak merugikan warga yang dilayani. Pelayanan publik yang transparan adalah merupakan salah satu prinsip dalam perwujudan good governance (pemerintahan yang baik).
Di Indonesia, penyelenggaraan pelayanan publik secara umum didasarkan pada filosofi dari UUD 1945 dan UU No. 32 Tahun 2004. Khusus untuk kebijakan transparansi dalam penyelenggaraan pelayanan publik dijabarkan dalam Kep. Menpan RI No. KEP/26/ M.PAN/2/
2004. Maksud ditetapkan Keputusan tersebut adalah sebagai acuan bagi seluruh penyelenggara pelayanan publik untuk meningkatkan kualitas transparansi pelayanan yang meliputi pelaksanaan prosedur, persyaratan teknis dan administratif, biaya, waktu, akta/janji, motto pelayanan, lokasi, standar pelayan an, informasi, serta pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam

penyelenggaraan pelayanan publik. Adapun tujuannya adalah untuk memberikan kejelasan bagi seluruh penyeleng gara pelayanan publik dalam melaksanakan pelayanan publik agar berkualitas dan sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat.
Transparansi penyelenggaraan pelayanan publik adalah pelaksanaan tugas dan kegiatan yang bersifat terbuka bagi masyarakat dari proses kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan/pengendaliannya, serta mudah diakses oleh semua pihak yang membutuh kan informasi. Transparansi dibangun dalam suasana adanya aliran informasi yang bebas. Dalam suasana ini, proses, institusi, dan informasi dapat secara langsung di akses oleh mereka yang berkepentingan. Di samping itu, juga tersedia cukup informasi untuk memahami dan memonitor ketiga hal itu (Hamdi, 2001 : 52-51). Menurut Riswandha (2003 : 59), transparansi adalah rakyat paham akan keseluruhan proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pemerintah. Jadi, transparansi itu berarti bersifat terbuka, mudah, dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti. Transparansi mensyaratkan bahwa pelaksana pelayanan publik memiliki pengetahuan tentang permasalahan dan informasi yang relevan dengan yang kegiatan pelayanan.
Dalam konteks transparansi pelaksana pelayanan publik, pelaksana harus terbuka pada setiap tindakannya dan siap menerima kritikan maupun masukan, terutama yang dapat dari masyarakat adalah merupakan kebutuhan utama adar agar aparatur memahami aspirasi riil masyarakat. Keterbukaan sangat diperlukan untuk mengurangi peluang timbulnya perilaku aparatur yang dapat merugikan negara dan masyarakat.
Selanjutnya, menurut Ratminto dan Winasih (2005 : 209-216), paling tidak ada 10 (sepuluh) dimensi atau kondisi aktual yang diharapkan terjadi dalam transparansi penyelenggaraan pelayanan publik, yaitu :
1. Manajemen dan pelaksanaan pelayanan publik harus diinformasikan dan mudah diakses oleh masyarakat. Transparansi terhadap manajemen dan penyeleng garaan pelayanan publik meliputi kebijakan, peren canaan, pelaksanaan, dan pengawasan/pengen dalian oleh masyarakat. Kegiatan tersebut harus dapat diinformasikan dan mudah diakses oleh masyarakat.
2. Prosedur pelayanan harus dibuat dalam bentuk Bagan Alir. Prosedur pelayanan adalah rangkaian proses atau tata kerja yang berkaitan satu sama lain, sehingga menunjukkan adanya tahapan secara jelas dan pasti serta cara-cara yang harus ditempuh dalam rangka penyelesaian sesuatu pelayanan. Prosedur pelayanan publik harus sederhana, tidak

berbelit-belit, mudah dipahami, dan mudah dilak sanakan, serta diwujudkan dalam bentuk Flow Chart (Bagan Alir) yang dipampang dalam ruangan pelayanan. Bagan Alir sangat penting dalam penyelenggaraan pelayanan publik karena berfungsi sebagai berikut :
(a) Petunjuk kerja bagi pemberi pelayanan. (b) Informasi bagi penerima pelayanan.
(c) Media publikasi secara terbuka pada semua unit kerja pelayanan mengenai prosedur pelayanan kepada penerima pelayanan.
(d) Pendorong terwujudnya sistem dan mekanisme kerja yang efektif dan efisien.

(e) Pengendali (kontrol) dan acuan bagi masyarakat dan aparat pengawasan untuk melakukan penilaian/pemeriksaan terhadap konsistensi pelaksanaan kerja.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan Bagan Alir adalah sebagai berikut :

(a) Bagan Alir harus mampu menggambarkan proses pelayanan, petugas/pejabat yang bertanggung jawab untuk setiap tahap pelayanan, unit kerja terkait, waktu, dan dokumen yang diperlukan, dimulai dari penerimaan berkas permohonan sampai dengan selesainya proses pelayanan.
(b) Model Bagan Alir dapat berbentuk bulat, kotak, dan tanda panah atau disesuaikan dengan kebutuhan unit kerja masing-masing.
(c) Ukuran Bagan Alir disesuaikan dengan luas ruangan, ditulis dalam huruf cetak dan mudah dibaca dalam jarak pandang minimal 3 (tiga) meter oleh penerima pelayanan atau disesuaikan dengan kondisi ruangan.
(d) Bagan Alir diletakkan pada tempat yang mudah dilihat oleh penerima pelayanan.

3. Persyaratan teknis dan administratif pelayanan harus diinformasikan secara jelas pada masyarakat. Untuk memperoleh pelayanan, masyarakat harus memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh pemberi pelayanan, baik berupa persyaratan teknis dan atau persyaratan administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam menentukan persyaratan, baik teknis maupun administratif harus seminimal mungkin dan dikaji terlebih dahulu agar benar-benar sesuai/relevan dengan jenis pelakanan yang akan diberikan. Harus dihilangkan segala persyaratan yang bersifat duplikasi dari instansi yang terkait dengan proses pelayanan. Persyaratan tersebut harus diinformasikan secara jelas dan diletakkan di dekat loket pelayanan, ditulis dengan huruf cetak dan dapat dibaca dalam jarak pandang minimum 3 (tiga) meter atau disesuaikan dengan kondisi ruangan.
4. Kepastian rincian biaya pelayanan harus diinformasikan secara jelas pada masyarakat.

Biaya pelayanan adalah segala biaya dan rinciannya dengan nama atau sebutan apapun sebagai imbalan atas pemberian pelayanan umum yang besaran dan tata cara pembayarannya ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sesuai ketentuan peraturan per undang-undangan. Kepastian dan rincian biaya pelayanan publik harus diinformasikan secara jelas dan diletakkan di dekat loket pelayanan, ditulis dengan huruf cetak dan dapat dibaca dalam jarak pandang minimum 3 (tiga) meter atau disesuaikan dengan kondisi ruangan. Transparansi mengenai biaya dilakukan dengan mengurangi semaksimal mungkin pertemuan secara personal antara pemohon/penerima pelayanan dengan pemberi pelayanan. Unit pemberi pelayanan seyogyanya tidak menerima pembayaran secara langsung dari penerima pelayanan. Pembayaran hendaknya diterima oleh unit yang bertugas menge lola keuangan/Bank yang ditunjuk oleh Pemerintah/unit pelayanan. Di samping itu, setiap pungutan yang ditarik dari masyarakat harus disertai dengan tanda bukti resmi sesuai dengan jumlah yang dibayarkan.
5. Kepastian dan kurun waktu penyelesaian pelayanan harus diinformasikan secara jelas pada masyarakat. Waktu penyelesaian pelayanan adalah jangka waktu penyelesaian suatu pelayanan publik mulai dari di lengkapinya/ di penuhinya persyaratan teknis dan atau persyaratan administratif sampai dengan selesainya suatu proses pelayanan. Unit pelayanan instansi pemerintah dalam mem berikan pelayanan harus berdasarkan nomor urut permintaan pelayanan, yaitu yang pertama kaii mengajukan pelayanan harus lebih dahulu dilayani/diselesaikan apabila persyaratan lengkap (melak sanakan asas First in First Out/ FIFO). Kepastian dan kurun waktu penyelesaian pelayanan publik harus diinformasikan secara jelas dan diletak kan di depan loket pelayanan, ditulis dengan huruf cetak dan dapat dibaca dalam jarak pandang mini mum 3 (tiga) meter atau disesuaikan dengan kondisi ruangan.
6. Pejabat/petugas yang berwenang dan bertanggung jawab memberikan pelayanan harus ditetapkan secara formal berdasarkan SK. Pejabat/petugas yang berwenang dan bertanggung jawab memberikan pelayanan dan atau menye lesaikan keluhan/
7. persoalan/sengketa, diwajibkan memakai tanda pengenal dan papan nama di meja/tempat kerja petugas. Pejabat/petugas tersebut harus ditetapkan secara formal berdasarkan Surat Keputusan/Surat Penugas an dari pejabat yang berwenang. Pejabat/petugas yang memberikan pelayanan dan menyelesaikan keluhan harus dapat menciptakan citra positif ter hadap penerima pelayanan dengan memperhatikan sebagai berikut :

(a) Aspek psikologi dan komunikasi, serta perilaku melayani.

(b) Kemampuan melaksanakan empati terhadap penerima pelayanan, dan dapat mengubah keluhan penerima pelayanan menjadi senyuman.
(c) Menyelaraskan cara penyampaian layanan melalui nada, tekanan dan kecepatan suara, sikap tubuh, mimik, dan pandangan mata.
(d) Mengenal siapa dan apa yang menjadi kebu tuhan penerima pelayanan. (e) Berada di tempat yang ditentukan pada waktu dan jam pelayanan.
8. Lokasi pelayanan harus jelas. Tempat dan lokasi pelayanan diusahakan harus tetap dan tidak berpindah-pindah, mudah dijangkau oleh pemohon pelayanan, dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang cukup memadai termasuk penye diaan sarana telekomunikasi dan informatika (telematika). Untuk memudahkan masyarakat dalam memperoleh pelayanan, dapat membentuk Unit Pelayanan Ter padu atau pos-pos pelayanan di Kantor Kelurahan/ Desa/Kecamatan serta di tempat-tempat strategis lainnya.
9. Janji pelayanan harus tertulis secara jelas. Akta atau janji pelayanan merupakan komitmen tertulis unit kerja pelayanan instansi pemerintah dalam menyediakan pelayanan kepada masyarakat. Janji pelayanan tertulis secara jelas, singkat dan mudah dimengerti, menyangkut hanya hal-hal yang esensial dan informasi yang akurat, termasuk di dalamnya mengenai standar kualitas pelayanan. Dapat pula dibuat "Motto Pelayanan", dengan penyusunan kata-kata yang dapat memberikan semangat, baik kepada pemberi maupun penerima pelayanan. Akta/janji, motto pelayanan tersebut harus diinfor masikan dan ditulis dengan huruf cetak dan dapat dibaca dalam jarak pandang minimum 3 (tiga) meter atau disesuaikan dengan kondisi ruangan.
10. Standar pelayanan publik harus realistis dan dipublikasikan pada masyarakat. Setiap unit pelayanan instansi pemerintah wajib menyusun Standar Pelayanan masing-masing sesuai dengan tugas dan kewenangannya, dan dipublikasi kan kepada masyarakat sebagai jaminan adanya kepastian bagi penerima pelayanan. Standar pelayanan merupakan ukuran kualitas kinerja yang dibakukan dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang wajib ditaati oleh pemberi dan atau penerima pelayanan. Standar pelayanan yang ditetapkan hendaknya realistis, karena merupakan jaminan bahwa janji/komitmen yang dibuat dapat dipenuhi, jelas dan mudah dimengerti oleh para pemberi dan penerima pelayanan.
11. Informasi Pelayanan harus dipublikasikan dan disosialisasikan pada masyarakat melalui media. Untuk memenuhi kebutuhan informasi pelayanan kepada masyarakat, setiap unit

pelayanan instansi pemerintah wajib mempublikasikan mengenai prosedur, persyaratan, biaya, waktu, standar, akta/ janji, motto pelayanan, lokasi serta pejabat/petugas yang berwenang dan bertanggung jawab sebagaimana telah diuraikan di atas. Publikasi dan atau sosialisasi tersebut di atas melalui antara lain, media cetak (brosur, leaflet, booklet), media elektronik (Website, Home Page, Situs Internet, Radio, TV), media gambar dan atau penyuluhan secara langsung kepada masyarakat.
Uraian-uraian tersebut di atas dapat digambarkan secara skematis seperti dikemukakan di bawah ini :



































Landasan konstitusional : UUD 1945
UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 127

Instansi/Lembaga
Pemerintahan Harus mewujudkan Good Governance







Salah satu tugas : Pelayanan masyarakat Salah satu prinsip : Transparency (transparansi)








Kep. Menpan No. KEP/26/M.PAN/2/2004




Dimensi-demensi transparansi penyelenggaraan pelayanan publik :

1. Manajemen dan pelaksanaan pelayanan publik harus diinformasikan dan mudah diakses oleh masyarakat.
2. Prosedur pelayanan harus dibuat dalam bentuk Bagan Alir.
3. Persyaratan teknis dan administratif pelayanan harus diinformasikan secara jelas pada masyarakat.
4. Kepastian rincian biaya pelayanan harus diinformasikan secara jelas pada masyarakat.
5. Kepastian dan kurun waktu penyelesaian pelayanan harus diinformasikan secara jelas pada masyarakat.
6. Pejabat/petugas yang berwenang dan bertanggung jawab memberikan pelayanan harus ditetapkan secara formal berdasarkan SK.
7. Lokasi pelayanan harus jelas.
8. Janji pelayanan harus tertulis secara jelas.
9. Standar pelayanan publik harus realistis dan dipublikasikan pada masyarakat.
10. Informasi pelayanan harus dipublikasikan dan disosialisasikan pada masyarakat melalui media.











Kondisi Ideal








Untuk dapat mencapai penyelenggaraan pelayanan publik yang transparan, diperlukan sejumlah faktor penunjang seperti dukungan kebijakan yang kondusif, ketersediaan teknologi yang memadai, kemampuan pegawai yang tinggi, dukungan dan kesadaran warga, anggaran operasional yang cukup, komitmen pegawai tinggi, pengawasan dan sanksi yang intensif dan tegas, budaya kerja tidak kaku, dan pola pelayanan yang fungsional.


PENUTUP

Transparansi dalam penyelenggaraan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan, yang bersifat terbuka, mudah, dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan serta disediakan secara memadai dan mudah dimengerti oleh semua penerima kebutuhan pelayanan.
Untuk mencapai hal di atas, diperlukan kondisi aktual seperti : manajemen dan pelaksanaan pelayanan publik harus diinformasikan dan mudah diakses oleh masyarakat; prosedur pelayanan harus dibuat dalam bentuk Bagan Alir; persyaratan teknis dan administratif pelayanan harus diinformasikan secara jelas pada masyarakat; kepastian rincian biaya pelayanan harus diinformasikan secara jelas pada masyarakat; kepastian dan kurun waktu penyelesaian pelayanan harus diinformasikan secara jelas pada masyarakat; pejabat/ petugas yang berwenang dan bertanggung jawab memberikan pelayanan harus ditetapkan secara formal berdasarkan SK; lokasi pelayanan harus jelas; janji (motto) pelayanan harus tertulis secara jelas; standar pelayanan publik harus realistis dan dipublikasikan pada masyarakat; serta informasi pelayanan harus dipublikasikan dan disosialisasikan pada masyarakat melalui media.

Selain itu, diperlukan juga sejumlah faktor penunjang seperti dukungan kebijakan, ketersediaan teknologi, kemampuan pegawai, dukungan dan kesadaran warga, kecukupan anggaran, komitmen pegawai, pengawasan dan sanksi, budaya kerja, dan pola pelayanan yang tepat.










DAFTAR PUSTAKA


Collins dan McLaughlin. 2002. Perubahan Manajemen dalam Organisasi. Terjemahan Miftah
Thoha. Jakarta: LP3ES.

Daha, Khairid. 2002. “Kinerja Organisasi Pelayanan Publik.” Tesis. MAP UGM Yogyakarta. Dahlan Al Barry. 2002. Kamus Modern Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Arkola.
Dunleavy, Patrick. 2000. ”Demokrasi, Birokrasi, dan Pilihan Kebijakan Demokrasi”, Penjelasan Ekonomi Dalam Ilmu Politik. Terjemahan Yuyun P. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Dwiyanto, Agus. 2000. ”Kemitraan Pemerintah-Swasta dan Relevansi Terhadap Reformasi
Administrasi Negara, JKAP, Volume 1 (1), Mei 2000, hal. 9-20.

Grosroos, C. 2001. Manajemen Pelayanan dan Pemasaran. Terjemahan Maskur. Jakarta: Rineka
Cipta.

Hamdi, Muchlis. 2001. “Good Governance dan Kebijakan Otonomi Daerah.” Jurnal Otonomi
Daerah, Vol. I (2), Oktober 2001, hal. 52-54.

Imai, Masaaki. 2000. Kualitas Pekerja di Jepang. Terjemahan Agus Dwiyanto. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Ivancevich, Lorenzi, Skinner, dan Crosby. 2000 Manajemen Kualitas dan Kompetitif.
Terjemahan Mohammad Musa. Jakarta: Fajar Agung.

Kantor Kementerian PAN RI. 2004. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor. KEP/26/M.PAN/2/2004 Tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan Akuntabilitas Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik.

Kantor Menpan RI. 1993. Keputusan Menpan Nomor 81 Tahun 1993 Tentang Pedoman Tata

Laksana Pelayanan Umum.

----------------------------. 2004. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor. 63
Tahun 2004 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan.

Loffler, Ekka. 2001. Modernisasi di Sektor Publik dalam Perspektif Perbandingan Internasional : Konsep dan Metode. TerjemahanAgus Dwiyanto. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Osborne, David dan P. Plastrik. 2002. Lima Strategi Reinventing Pemerintahan. Terjemahan
Yuyun P. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pamudji, S. 2000. ”Profesionalisme Aparatur Negara dalam Rangka Meningkatkan Pelayanan
Publik.” Widyapraja IIP Depdagri, III (19), hal. 21-29.

Ratminto. 2002. ”Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik Di Era Otonomi Daerah : Harapan yang Belum Menjadi Nyata.” Jurnal ISIPOL UMY Yogyakarta, Vol. XI (12), Nopember
2002, hal. 14-18.

Ratminto dan Atik Septi Winarsih. 2005. Manajemen Pelayanan : Pengembangan Model Konseptual, Penerapan Citizen’s Charter, dan Standar Pelayanan Minimal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Republik Indonesia. 1995. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perbaikan dan
Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada Masyarakat.

------------------------. 2003. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2003 Tentang
Paket Kebijakan Ekonomi.

------------------------. 2004. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah.

Riswandha Imawan. 2003. ”Desentralisasi, Demokratisasi, dan Pembentukan Good
Governance.” Jurnal Otonomi Daerah, Vol. II (6), Juni 2003, hal. 56-60. Sjahrir. 2002. Good Governance : Tinjauan Kritis. Jakarta: LAN RI.
Taliziduhu Ndhara. 2000. Ilmu Pemerintahan I. Jakarta: BKU IIP.

United Nation Development Program (UNDP). 2000. Tahap Pertama Memajukan Pemerintahan yang Baik dan Transparansi yang Sah. Terjemahan Purwinta. Yogyakarta : UNDP dan FISIP UGM Yogyakarta.

Wibawa, Samudro dan Yuyun Purbokusumo. 2002. ”Peningkatan Kualitas Pelayanan
Administrasi.” JKAP, Vol. 2 (2), hal. 38-51.

Zeithaml, V. A. Parasuraman, dan L. L. Berry. 2001. Melaksanakan Kualitas Pelayanan.
Terjemahan Mohammad Musa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar